Minggu, 28 Mei 2017

Angon Bocah

Era modern merupakan era dimana perkembangan teknologi sangat mempengaruhi kehidupan manusia. Pada era ini banyak masyarakat kita yang mulai beralih menggunakan teknologi dan meninggalkan budaya tardisionalnya. Perkembangan teknologi tidak hanya mempengaruhi masyarakat secara umum saja namun perkembangan teknologi ini juga ikut mempengaruhi pola dan perilaku anak-anak. Budaya tradisonal dimana permainan atau mainan tradisional yang dulu masih sering dimainkan anak-anak, sekarang telah dikalahkan dengan adanya permainan modern, misalnya game online dan gadget yang dimiliki. Dampaknya, banyak dari mereka yang sama sekali tidak mengetahui pengetahuan mengenai mainan tradisional dan budayanya sendiri. Lunturnya budaya khususnya mainan tradisional ini menjadikan perlu adanya kegiatan untuk memperkenalkan kembali budaya tradisional. Angon Bocah menjadi salah satu kegiatan yang dapat dilakukan sebagai upaya pengenalan kembali pengetahuan budaya tradisioanal bagi masyarakat umum khususnya anak-anak.
Angon bocah sendiri merupakan tradisi yang sudah lama ada pada masyarakat Jawa, namun tradisi ini tidak sepopuler dengan tradisi jawa yang lainnya seperti:  tradisi lahiran, khitanan, mantenan atau kematian. Angon bocah merupakan salah satu dari serangkaian upacara Tumbuk Ageng, Tumbuk berarti bertepatan sedangkan Ageng berarti besar, suatu upacara dari serangkaian siklus hidup manusia Jawa yang diselenggarakan pada masa tua, saat seseorang tepat berusia 8 x 8 tahun (64 tahun), karena pada saat usia 64 tahun ini, hari wetonnya tepat sama dengan hari weton pada saat ia lahir ke dunia sebagai bayi, karenanya delapan windu merupakan berkah agung bagi seseorang yang dapat melewati waktu hidup sekian lama.
Angon artinya menggembala, pada umumnya kata ini dipergunakan untuk hewan ternak, tetapi dalam rangkaian upacara tumbuk ageng, angon dipadukan dengan kata bocah, bahkan dalam pelaksanaannya “Eyang” juga membawa piranti cemeti (alat pecut), ibarat orang yang sedang angon atau menggembala sebagai simbol untuk menggiring agar ingon-ingonannya (peliharaanya) tidak ke mana-mana, atau anak keturunannya diharapkan hidup “trep karo paugeraning ngaurip” dalam istilah bahasa Indonesia berarti sesuai dengan norma kehidupan. Angon bocah berusaha luruh, tetap rendah hati dan tidak tumbuh kesombongan diri, meski anak-anaknya sudah bekerja mapan bahkan mungkin sudah memiliki kedudukan yang bisa dibanggakan, dalam istilah jawa anake uwis ana sing dadi uwong, dalam mengungkapkan kegembiraan dan rasa syukurnya “Eyang” tetap arif setiap ditanya hendak kemana, jawabannya tidaklah berpesta atau berbelanja tetapi tetap satu kalimat sederhana yaitu Angon Bocah.
Anak, cucu dan cicit semuanya diberi sangu uang dari hasil “Eyang” mengumpulkan beberapa bulan sebelumnya, kemudian semuanya  di “angon” diajak berjalan-jalan ke pasar untuk membeli apa yang mereka suka, seperti membeli makanan yang mereka inginkan bersama. Selain itu angon bocah juga merupakan cara mendekatkan antar sanak saudara yang lama tidak berjumpa karena sibuk dengan aktivitas mereka masing-masing.

0 komentar:

Posting Komentar